Peliharaan Sang Raja

Enchanted Forest
Enchanted Forest (picture taken from: api.ning.com)

Di balik segala keagungan dan kebijakannya, Raja kami, yang tentu saja adalah manusia biasa, memiliki satu keanehan. Entah kenapa, tapi harus kami katakan, bahwa kegemaran Baginda Raja pada binatang-binatang langka sungguh tidak lazim. Aku sendiri, selama hampir lima belas tahun menjadi pelayannya yang setia, telah melihat berbagai macam bentuk binatang-binatang aneh yang konon berjumlah terbatas di bumi.

Sang Raja memiliki sebuah pondok kecil di istana bagian belakang, tepat di dekat hutan dan sungai. Obsesinya pada binatang-binatang aneh itu membuatnya sangat kreatif -jika tidak bisa dibilang kalap- dengan membuat hutan itu menjadi kandang bagi hewan-hewan itu. Bagaimana caranya? Itulah bagian yang kusebut kreatif tadi.

Baginda Raja tak mau tahu. Yang jelas semua arsitek dan tukang batu yang dimiliki kerajaan ini harus bisa mewujudkan keinginannya untuk membangun sebuah pondok berkubah yang besar. Sebesar apa? tentu saja sebesar hutan itu. Karena pondok berkubah itulah yang nantinya menjadi kandang binatang-binatang ajaib peliharaannya. Berhubung Raja tidak mungkin menebang seluruh pohon dan memboyongnya satu persatu ke dalam pondok, maka pondok itulah yang harus bisa menaungi seluruh hutan. Kreatif bukan?

Pada akhirnya para arsitek dan tukang batu itu berhasil. Aku ikut bersyukur, karena jika mereka gagal maka keluarga mereka akan mendapati mereka pulang tanpa kepala. Dan di sanalah, pondok itu, makhluk-makhluk aneh milik Sang Raja dipelihara, atau lebih tepatnya dikoleksi.

Saat ini entah sudah ada berapa ratus makhluk yang terkunci dalam kubah kaca tembus pandang itu. Bentuk-bentuk mereka, harus kuakui, memang sungguh ajaib. Beberapa terlihat sangat indah dengan bulu selembut beludru atau warna yang hampir lebih elok dari gerombolan pelangi. Beberapa memiliki suara yang merdu. Beberapa sangat pintar, dan beberapa… yah… walaupun berbentuk sedikit aneh, tapi tetap tak ada duanya di dunia ini.

Tapi di antara peliharaan-peliharaan unik milik Sang Raja itu, kurasa peliharaan Raja yang terakhir adalah binatang teraneh yang pernah kulihat. Binatang itu tidak dipesan, dibeli, atau diburu oleh Sang Raja seperti biasanya, aku sendiri ragu bahwa Raja mengetahui ada jenis binatang semacam itu di muka bumi ini,  melainkan diberikan sebagai hadiah oleh seorang pengelana jauh.

Aku masih ingat. Ketika itu, aku yang bertugas sebagai pelayan dan pengurus pondok binatang Sang Raja dipanggil untuk menghadap. Dalam ruangannya, Raja telah bersama seseorang, yang tak lain adalah si pengelana jauh pemilik binatang aneh itu.

Kalau boleh berprasangka buruk, aku curiga, pengelana jauh itu sendiri adalah seseorang yang misterius dan penuh tipu muslihat. Sampai sekarang aku benar-benar tak bisa mengetahui keseluruhan bentuk wajahnya. Karena ketika menghadap Sang Raja, dia mengenakan jubah kelabu dengan tudung kepala yang besar. Seharusnya saat itu aku heran, walaupun kenyataannya tidak, karena tidak biasanya seseorang bisa sangat berani menghadap Raja dengan busana seperti itu. Pun dengan Sang Raja, kenapa beliau tidak merasa tersinggung dengan penampilan tamunya yang aneh itu?

Tapi sudahlah, itu masalah lain. Yang jelas, dari tempatku berdiri saat itu, aku hanya dapat melihat ujung hidung si pengelana yang runcing dan beberapa helai rambut keriting yang tumbuh di janggut panjangnya. Suara pengelana itu serak, ketika dia berkata:

“Terimalah persembahan hamba, Yang Mulia.” Sambil menunduk, pengelana itu menyodorkan sebuah kotak kayu kecil ke hadapan Baginda Raja.

Sang Raja memberikan isyarat agar aku mengambil kotak tersebut dan membawanya padanya. Dan itulah yang kulakukan. Sejujurnya, aku tidak tahu bahwa pengelana jauh itu akan memberikan binatang sebagai persembahannya pada Sang Raja. Karena kotak itu berukuran kecil dan bobotnya pun sangat ringan.

Tapi itulah kenyataannya. Ketika kotak itu dibuka, yang terlihat oleh Raja dan aku sendiri, adalah seekor makhluk yang sedang bergerak-gerak dengan malas. Makhluk itu berukuran kecil. Lebih kecil dari ulat dan lebih pendek dari cacing. Bentuknya lonjong dan bulat, hampir seperti tempayak. Begitu juga warnanya yang putih keruh. Hanya saja, pada bagian belakang, kurasa itu bagian belakang, ada semacam ekor yang lurus dan panjang, berukuran lebih kecil dari bentuk tubuhnya.

Dan kenapa binatang itu aneh? Karena kami sama sekali tak bisa melihat mata, hidung atau apapun pada binatang itu. Dia hanya terlihat seperti gumpalan gelatin yang berbentuk bulat, dengan ekor di belakangnya. Kecuali jika kau benar-benar memperhatikan, ada dua titik kecil di bagian depan tubuhnya. Bisa jadi itu adalah wajahnya. Dua titik runcing berwarna kuning itu dihubungkan oleh satu garis yang berlubang. Itulah, yang kemudian kami ketahui sebagai satu-satunya anggota badan yang dia punya ketika makhluk itu masih kecil. Sebuah mulut.

***

Naafs, begitu si pengelana memanggil binatang yang dihadiahkannya pada Sang Raja. Dan perlu kusebutkan bagaimana mata Sang Raja kala itu berbinar, mengalahkan ekspresinya ketika dia berhasil mendapatkan makhluk-makhluk yang sekarang dikuncinya di pondok belakang istana. Bagiku secara pribadi, makhluk itu -dalam sebuah cara- mengirimkan sinyal yang aneh padaku. Entah kenapa, kadang aku merasa sedikit tercekik jika melihatnya berlama-lama.

Tapi untungnya itu tak akan menjadi masalah bagiku. Karena menurut saran dari si pengelana, Baginda Raja sendiri lah yang harus mengurus makhluk itu. Dikatakannya bahwa makhluk itu hanya bisa hidup jika diasuh oleh pemiliknya sendiri. Jika Sang Raja menghendaki untuk memilikinya, maka mau tak mau Raja harus merawatnya sendiri. Jika Sang Raja menyuruhku memeliharanya, yang untungnya tidak dilakukannya, maka akulah yang akan menjadi pemilik binatang langka itu.

Mendengar syarat yang aneh itu, tentu saja Sang Raja menjadi sedikit ragu. Lagipula, apa bagusnya makhluk itu dibandingkan dengan binatang-binatang lain dalam pondoknya yang mempunyai keunikan tersendiri. Tapi karena ternyata perawatan makhluk kecil yang aneh itu tak begitu sulit, binatang itu hanya perlu diberi makan, tak perlu dimandikan dan tak akan pernah mengeluarkan kotoran, ditambah ketidakwarasan Raja kami karena keranjingannya pada binatang-binatang langka, maka Baginda Raja menyetujui persyaratan itu.

Jadilah… Sang Raja membuatkan Naafs sebuah tempat kecil yang diletakkan di sudut kamarnya. Setiap pagi, siang, dan malam hari Sang Raja memberi makan makhluk itu. Dan anehnya, tidak seperti binatang lain yang seringkali teridentifikasi sebagai pemakan daging atau tumbuhan saja, makhluk itu hampir mau menerima semua makanan yang diberikan Sang Raja. Mungkin Naafs sebenarnya adalah keturunan tikus yang merupakan pemakan segala.

Oh ya, tentang pengelana itu. Setelah menyerahkan Naafs pada Bagianda Raja, dia langsung pergi dengan senyum samar di wajahnya, dan tak pernah kembali lagi. Benar, tak pernah kembali bahkan untuk menengok keadaan Naafs. Dan aku ragu dia akan kembali untuk mempertanggungjawabkan bencana yang diakibatkannya, atau yang mungkin bahkan sudah direncanakannya.

***

Entah sejak kapan aku mulai melihat gelagat aneh dan tidak baik dari Naafs. Pada mulanya, dalam kurun waktu yang cukup lama, Raja masih sangat menggilai makhluk itu. Sampai-sampai Sang Raja tak tertarik lagi untuk mencari binatang-binatang langka, dan bahkan menyuruh para pemburu andalannya pensiun. Kalau saja aku memiliki bukti, pasti bisa kukatakan pada semua orang bahwa Sang Raja telah tersihir oleh binatang aneh itu.

Bagaimana tidak? Bagiku sendiri makhluk itu tidak terlihat istimewa. Kelewat aneh mungkin iya, tapi tidak istimewa dalam arti yang bagus. Naafs juga tidak bisa melakukan sesuatu yang spesial, katakanlah misalnya berhitung seperti yang dapat dilakukan salah satu burung berkepala tiga milik Sang Raja. Lalu kenapa Sang Raja begitu tergila-gila padanya?

Pernah pada suatu pekan, Sang Raja bahkan tidak keluar kamarnya hanya demi berlama-lama bersama Naafs dan memberinya makan. Selama sepekan itu, Raja tak mengurusi apapun -termasuk segala bentuk tanggungjawabnya sebagai kepala kerajaan- hanya demi bersama makhluk yang hanya tahu makan itu. Apa coba namanya kalau bukan tersihir?

Naafs, binatang rakus itu, memang tak bisa melakukan apa-apa selain menggendutkan tubuhnya. Oh, itu benar. Aku tidak mengatakannya hanya karena aku kurang menyukai makhluk itu. Setahuku, selama ini dia hanya bertambah besar dan berubah bentuk. Selebihnya tidak ada.

Oh ya, seperti tadi sudah kukatakan, binatang itu memang bisa berubah bentuk. Jika bisa digolongkan sebagai salah satu bentuk metamorfosis, maka Naafs termasuk dalam hewan yang memiliki siklus metamorfosis sempurna. Karena perubahan tubuhnya dari tempayak hingga dewasa, walaupun aku tak yakin dengan umurnya, sangat drastis dan hampir tidak bisa dipercaya.

Sedikit demi sedikit, Naafs mulai memperlihatkan perkembangan dalam hal anatomi tubuhnya. Semakin besar bentuk tubuhnya, maka semakin jelas juga bagiku untuk melihat organ-organ tubuhnya. Naafs pada akhirnya memiliki enam buah mata bulat yang tidak memiliki kelopak, seperti mata pada lalat, hanya saja ini berjumlah enam, tiga di samping kiri dan tiga lagi di kanan. Hidungnya, bagaimanapun, hanyalah dua lubang kecil yang terletak di tengah-tengah wajahnya.

Pada musim dingin, entah bulan keberapa setelah kedatangan Naafs, aku hampir mati terkena serangan jantung ketika melihat bentuk binatang itu sudah berubah. Tubuhnya yang hampir sebesar anjing Labrador berada dalam pangkuan Baginda Raja, yang terlihat tenang-tenang saja bahkan bahagia.

Tubuh gelatinnya yang seharusnya terlihat lembek dan elastis sudah tertutup cangkang berwarna hitam pekat. Dan yang paling tidak kuduga adalah empat pasang tangan dan kaki. Jadi semuanya berjumlah delapan pasang atau enam belas buah.

Tangannya, walaupun tidak sama, dua pasang hampir mirip dengan kaki laba-laba. Sementara dua pasang lagi memiliki capit yang lebih kecil dan ramping dari capit kalajengking, namun lebih runcing, dan kuyakini juga lebih tajam. Kaki-kaki yang menempel pada bagian belakang tubuhnya sama sekali berbeda dengan tangannya.

Kaki-kaki itu pendek dan melata. Kurasa itu karena bagian belakang tubuh Naafs besar, sehingga untuk berjalan dia harus menyeretnya. Ekornya saat itu masih sama, hanya lebih besar dan lebih runcing di bagian ujungnya.

Mungkin keahlian Naafs adalah pertumbuhannya yang cepat. Lebih cepat daripada binatang-binatang lain. Dalam beberapa minggu saja badannya yang gelap dan keras itu berkembang menjadi besar. Ukuran tubuhnya bisa empat atau lima kali lebih besar setiap bulannya. Dan tak seperti kebanyakan binatang, dan juga manusia, yang mempunyai titik akhir perkembangan tubuh pada usia tertentu, sepertinya tubuh Naafs dapat terus tumbuh membesar.

***

Hidungku mencium aroma bencana ketika mendengar desas-desus mengenai Sang raja. Raja menjadi jarang sekali keluar dari kamarnya. Jika dulu beliau pernah tak keluar kamar selama sepekan, kali ini Raja bisa bertahan dalam kamarnya hingga hampir sebulan penuh. Tak ada yang diizinkannya masuk ke kamarnya kecuali pelayan yang membawa makanan dan minuman.

Para juru masak dan bagian penyedia makanan juga dibuat terheran-heran dengan nafsu makan Raja yang menjadi berkali-kali lipat lebih banyak. Bayangkan, mereka bahkan harus menyembelih tiga sapi hanya untuk hidangan Raja dalam sehari. Tapi anehnya, pelayan-pelayan yang bertugas mengantarkan makanan itu tak melihat tubuh Raja menggendut sedikitpun. Bahkan, jika boleh menduga-duga, badan Raja terlihat lebih kurus, dan seringkali terlihat lesu.

Akhirnya, entah terdorong oleh kekuatan apa, pada suatu malam aku menemui Sang Raja. Padahal aku sendiri juga tidak tahu harus melakukan apa ketika menghadap Raja nanti. Yang kutahu hanya firasat yang menyuruhku untuk melihat Sang Raja. Pada ketukan yang ketiga, aku mendengar Raja menyuruhku masuk ke kamarnya.

Dalam ruangan yang tidak biasanya gelap gulita itu, aku melihat Sang Raja duduk di kursinya. Sungguh, desas-desus itu tak mengandung kebohongan sedikit pun. Badan Sang Raja tak hanya tidak menggendut, tak hanya semakin kurus, tapi juga ringkih. Dalam balutan busana tidur sutranya, aku bisa melihat tulang yang mulai sedikit menonjol.

“Ah, kau…” Sang Raja berbisik parau.

Aku menyulut lebih banyak lilin yang berjejer di tembok agar kami tak berbicara dalam keremangan, juga agar aku bisa melihat Sang Raja dengan lebih jelas.

“Jangan! Jangan terlalu terang! Naafs tidak suka cahaya lilin.” Baginda Raja melarangku. Tak banyak berpikir, aku hanya menghela nafas dan berhenti menyulut lilin. Akhirnya aku mendekati Raja, berlutut di sebelahnya, sambil sesekali memicingkan mata dalam kegelapan di sudut kamar Yang Mulia, mencari-cari Naafs.

“Hamba mendengar desas-desus yang tidak baik mengenai kesehatan Yang Mulia.” Akhirnya aku membuka pembicaraan.

“Aku sehat-sehat saja.”

“Tapi Yang Mulia terlihat lebih kurus.”

“Aku baik-baik saja.”

Sepertinya apapun yang kukatakan tak akan bisa memancing apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya aku berinisiatif menanyakan hal yang lain.

“Baiklah. Hamba bersyukur Yang Mulia sehat-sehat saja. Bagaimana keadaan Naafs, Yang Mulia? Hamba sudah tak pernah lagi melihatnya.”

Dan saat itulah Sang Raja menghela nafas panjang. Pria tua itu terlihat lelah. Punggungnya yang menempel pada kursi sedikit melorot. Seperti ada banyak hal yang menghimpitnya dan berusaha menyembur keluar. Tapi mulutnya masih bungkam.

Jadi ini ada hubungannya dengan Naafs. Batinku. “Apa yang terjadi pada Naafs, Yang Mulia?”

Baginda Raja masih diam seribu bahasa. Aku masih berlutut di sebelahnya, menunggu. Kurasa yang paling baik saat ini adalah bersabar menunggu Sang Raja membuka mulutnya. Aku sudah sangat penasaran, hingga jika harus menunggu sampai pagi pun pasti akan kulakukan. Tapi tak sampai setengah jam, mulut Raja bersuara:

“Dia menjadi besar…”

Aku segera memasang telinga.

“Dia terus membesar… tak pernah berhenti makan, sampai tubuhnya sangat besar. Setiap hari makanannya bertambah. Dia bisa memakan berkilo-kilo daging sapi dalam sekali telan. Dan itu membuatnya semakin besar.”

Mataku segera menyapu seluruh ruangan. Tak menemukan binatang itu.

“Sebesar apa, Yang Mulia?”

“Kau lihat sudut ruangan itu?” kali ini Sang Raja menunjuk sebuah sudut, dimana dia meletakkan tempat tidurnya. Yang ada hanya kegelapan, aku tak melihat apa-apa kecuali hitan yang kelam. “Itu Naafs….”

Dan kerongkonganku seperti tersedak buah berduri.

“T…tapi, bukankah tempat tidur Yang Mulia ada di sana?”

Baginda Raja menggeleng, “Aku sudah menyuruh orang mengeluarkannya beberapa minggu yang lalu. Ruangan ini sudah tak cukup lagi untuk tubuh Naafs.”

Aku hanya bisa terhenyak. “Tuanku… kenapa Yang Mulia tidak menghentikan Naafs? Jangan beri dia makan.”

“Tidak bisa!” Mimik muka Raja berubah pucat, seperti orang ketakutan. “Dia menjadi lebih galak, menjadi lebih beringas dan rakus. Pernah sekali aku tak memberinya makan karena badannya yang tumbuh besar dengan cepat. Tapi dia hampir saja menggorok leherku dengan capitnya yang seperti tombak.”

Bukan ‘seperti’, ternyata Sang Raja ‘memang’ ketakutan. Aku sendiri bergetar mendengar ceritanya. Terlebih lagi ketika menyadari makhluk buas itu hanya beberapa langkah dari hadapanku.

“Kalau begitu Yang Mulia harus segera keluar dari ruangan ini. Tinggalkan binatang itu, atau pindahkan dia ke tempat yang lain.”

“Tidak… aku tidak bisa membayangkan jika aku meninggalkannya. Bisa-bisa dia akan berkeliaran ke seluruh penjuru istana dan memakan apapun yang dia mau, termasuk manusia.” Aku bergidik, menyadari kata-kata Rajaku itu benar.

“Membuatnya sangat besar dan terus memberinya apapun yang dia mau adalah kesalahanku. Jadi aku yang akan menanggungnya.”

Aku mengangguk. Dan akhirnya mohon diri setelah beberapa saat. Pembicaraan singkat malam itu telah memberikanku sebuah gambaran jelas tentang apa yang sudah terjadi pada Baginda Raja.

Berbulan-bulan setelah terakhir kali kami bertemu di kamar Sang Raja malam itu, beliau akhirnya berpulang. Dalam keadaan sakit, kurus, dan hampir tak terawat. Sungguh, seperti bukan kematian seorang raja.

Ajaibnya, selain menemukan jasad Sang Raja yang terduduk di kursinya, para dayang juga menemukan sebuah bangkai hewan seukuran rumah di dalam ruang tidurnya. Bangkai Naafs. Bersama itu, Raja meninggalkan sebuah surat yang berbunyi:

“Potong-potong tubuh binatang itu, dan kuburkan bersama jasadku. Karena sesungguhnya, ketamakannya adalah bagian dari diriku.”

Aku yang dititahkan untuk melaksanakan wasiat Sang Raja. Karena selain aku bertugas mengurusi binatang peliharaan, tak ada orang yang berani mendekati bangkai itu. Raja dikebumikan bersama seluruh potongan tubuh Naafs. Hingga makamnya harus dibuat menyerupai pondok kecil karena potongan tubuh binatang yang terlalu besar itu tak muat untuk sebuah lubang dan peti mati.

Aku menghiasi pondok makamnya dengan tanaman rambat yang bersulur panjang dan berbunga lebat. Di sudut sempit pondok makam itu kuukirkan sebuah pesan:

“Di sini terbaring jasad Arisseus, Raja negeri ini… beserta jasad Naafs, ketamakan yang berhasil dia taklukan di akhir hayatnya.”

***

MayDay, 2013
#Kurasa, Naafs sesungguhnya ada dalam masing-masing kita

7 thoughts on “Peliharaan Sang Raja

  1. Iya mbak. Semua orang memang punya naafs dalam hati mereka. Bedanya, ada yang bisa menahan dan mengontrolnya, tetapi ada yang terlena dibuatnya

  2. Wow, incredible blog layout! How long have you been blogging for?
    you make blogging look easy. The overall look of your site is fantastic,
    as well as the content!

    1. Thank you, actually I made this blog as simple as I can… not using too much tool. Just change the background image and using basic theme from WP. Glad you like my blog 🙂

  3. Di sepertiga cerita saya mengira hewan itu adalah ulat cikal bakal kupu-kupu. Namun, pembahasan dan deskripsi di ujung cerita tentang hewan besar sebesar rumah Raja membuat saya menjadi sadar penulis menyuguhkan halusinasi bagi pembaca. Halusinasi itu juga memberikan aroma merinding bagi pembaca. Seolah pembaca turut menjadi pelayan Raja. Akan lebih tragis, kalau Raja turut menjadi korban ketamakan si hewan. Sungguh merupakan cerita deskripsi yang dinamis, memamerkan padanan kata tanpa keraguan.

    1. terima kasih sudah membaca, Mas Anton 🙂
      Cerita ini sebenarnya hasil eksperimen. Saya menggunakan kalimat deskripsi yang panjang-panjang, tanpa dialog. Semoga tidak membosankan.

Leave a comment