Saat Terbaik Untuk Mati

“Kau tahu kapan saat terbaik untuk mati?”

Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut pucatmu ketika kita bertemu di sebuah terminal. Terus terang saja aku kaget mendengarnya dan sedikit ngeri. Entahlah, barangkali bukan hanya karena pertanyaan tak wajar itu, tetapi juga karena senyum dingin yang menghiasi wajahmu ketika menanyakannya padaku.

Ya, aku ingat sekali. Saat itu dini hari ketika aku baru turun dari bus jurusan Surabaya dan harus menunggu hingga pukul lima atau enam pagi untuk naik bus ke Malang. Terminal terlihat lengang tentu saja. Beberapa penumpang langsung dijemput oleh keluarga mereka, yang lain telah menitipkan motor dan langsung pulang, sementara penumpang lain yang bernasib sama sepertiku langsung mencari tempat duduk kosong untuk melanjutkan tidur.

Kau, bocah berpakaian sedikit lusuh dan wajah pucat yang kutaksir berusia sekitar 10 atau 11 tahunan, sedang duduk mematung sendirian pada sebuah bangku panjang di pojokan terminal. Dekat sebuah warung yang sudah tutup. Entah apa yang mendorongku untuk duduk di sebelahmu. Mungkin saat itu, kau terlihat seperti satu-satunya bentuk kehidupan di tengah terminal yang tengah terlelap. Nanti, baru kusadari bahwa anggapanku ternyata salah besar.

Continue reading Saat Terbaik Untuk Mati

Dua Menit Benci

George Orwell – 1984 (pict credit: @ksilananda)

“Dua Menit Benci”

Saya menggarisbawahi istilah itu dengan pensil saat pertama kali membaca 1984 milik Orwell. Dua Menit Benci adalah acara wajib, di mana semua orang yang mengaku setia pada Bung Besar harus datang menonton Emmanuel Goldstein–sang pengkhianat, Si Musuh Rakyat–beserta semua bentuk kejahatan dan ajarannya yang menyesatkan. Selama dua menit mereka akan menonton teleskrin dengan khidmat seperti sekumpulan robot yang sedang diprogram. Kekhidmatan itu lalu berangsur-angsur berubah menjadi kegilaan. Mereka berteriak melampiaskan amarah, rasa jijik, dan kebencian mereka pada penjahat nomor wahid versi Bung Besar itu.

Saya menggaris bawahinya, sebab istilah itu mengingatkan saya pada acara yang hampir serupa di negara kita. Sebuah acara yang wajib ditonton secara rutin, untuk memelihara kebencian kita pada penjahat nomor wahid, versi penguasa. Bedanya, kita tak dikumpulkan di depan teleskrin, tapi menonton di depan televisi masing-masing. Bedanya, acara yang kita tonton tak hanya berlangsung dua menit, tapi berjam-jam, dan menemani anak-anak dalam mimpi buruk hingga mereka terbangun keesokan harinya.

Bedanya, orang-orang Oceania tak mampu lepas dari “Dua Menit Benci”. Berani melewatkannya, mereka akan diseret ke Kementerian Cinta Kasih untuk ‘disembuhkan’ atau dihilangkan sekalian. Sementara kita, yang sudah terlepas bertahun-tahun lalu, justru ingin kembali merasakannya. Sebagian kita bahkan dengan sukarela menyiapkan kepala untuk dijejali kebohongan dan kebencian yang dikemas sebagai kebenaran.

Tanpa curiga, atau setidaknya bertanya-tanya sesungguhnya tayangan itu dibuat untuk keuntungan siapa.

– S –