Dua Menit Benci

George Orwell – 1984 (pict credit: @ksilananda)

“Dua Menit Benci”

Saya menggarisbawahi istilah itu dengan pensil saat pertama kali membaca 1984 milik Orwell. Dua Menit Benci adalah acara wajib, di mana semua orang yang mengaku setia pada Bung Besar harus datang menonton Emmanuel Goldstein–sang pengkhianat, Si Musuh Rakyat–beserta semua bentuk kejahatan dan ajarannya yang menyesatkan. Selama dua menit mereka akan menonton teleskrin dengan khidmat seperti sekumpulan robot yang sedang diprogram. Kekhidmatan itu lalu berangsur-angsur berubah menjadi kegilaan. Mereka berteriak melampiaskan amarah, rasa jijik, dan kebencian mereka pada penjahat nomor wahid versi Bung Besar itu.

Saya menggaris bawahinya, sebab istilah itu mengingatkan saya pada acara yang hampir serupa di negara kita. Sebuah acara yang wajib ditonton secara rutin, untuk memelihara kebencian kita pada penjahat nomor wahid, versi penguasa. Bedanya, kita tak dikumpulkan di depan teleskrin, tapi menonton di depan televisi masing-masing. Bedanya, acara yang kita tonton tak hanya berlangsung dua menit, tapi berjam-jam, dan menemani anak-anak dalam mimpi buruk hingga mereka terbangun keesokan harinya.

Bedanya, orang-orang Oceania tak mampu lepas dari “Dua Menit Benci”. Berani melewatkannya, mereka akan diseret ke Kementerian Cinta Kasih untuk ‘disembuhkan’ atau dihilangkan sekalian. Sementara kita, yang sudah terlepas bertahun-tahun lalu, justru ingin kembali merasakannya. Sebagian kita bahkan dengan sukarela menyiapkan kepala untuk dijejali kebohongan dan kebencian yang dikemas sebagai kebenaran.

Tanpa curiga, atau setidaknya bertanya-tanya sesungguhnya tayangan itu dibuat untuk keuntungan siapa.

– S –

Andai Saja

Andai saja dia adalah manusia.
Pasti sudah kucekik lehernya sampai kehabisan napas,
kumutilasi, lalu kubuang ke sungai Brantas.
Sepotong demi sepotong.

Sayangnya bukan.
Dia hanya segumpal ketakutan yang terpelihara oleh waktu.

Dan kau… iya, kau… bisa kau membunuhnya untukku?

– S –

Dia Datang Lagi

Ketukan itu awalnya menyapa saya lewat headphone. Tuk… tuk… begitu, pelan saja. Tapi kemudian ketukan itu berpindah ke layar komputer, meja kerja, kursi, dan terakhir mendarat begitu saja di punggung saya.

Tuk… tuk… sekarang rasanya seperti colekan oleh sebuah jari mungil. Saya menoleh perlahan dan menemukan sepasang mata bulat yang kelelahan, lengkap dengan hidung bangir di antara sepasang pipi tirus, dan bibir kecil yang mengatup rapat. Itu adalah wajah yang pernah saya kenal, yang hampir saja saya lupakan.

“Dia bukan gadis cilik, dia adalah sebuah simbol.” Itu yang pernah saya katakan pada sahabat saya, entah kapan, barangkali dua tahun yang lalu.

Dan saya sedang melihat pada simbol itu lagi. Kapan terakhir kali saya meluangkan waktu untuk menemuinya? Rasanya sudah lama dia saya abaikan. Saya jadi merasa bersalah, terutama saat melihat wajahnya yang seolah menunjukkan betapa seringnya dia dikecewaan oleh harapan. Oleh harapan pada saya tentunya. Saya tepuk kepalanya ringan, saya gosok-gosok sampai poni dan anak-anak rambut di dahinya sedikit berantakan. Seulas senyum muncul di wajahnya.

“Maaf ya, Riri…”

Kali ini akan kuselesaikan…  kau belum hilang harapan padaku kan? 🙂

– S –