Saat Terbaik Untuk Mati

“Kau tahu kapan saat terbaik untuk mati?”

Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut pucatmu ketika kita bertemu di sebuah terminal. Terus terang saja aku kaget mendengarnya dan sedikit ngeri. Entahlah, barangkali bukan hanya karena pertanyaan tak wajar itu, tetapi juga karena senyum dingin yang menghiasi wajahmu ketika menanyakannya padaku.

Ya, aku ingat sekali. Saat itu dini hari ketika aku baru turun dari bus jurusan Surabaya dan harus menunggu hingga pukul lima atau enam pagi untuk naik bus ke Malang. Terminal terlihat lengang tentu saja. Beberapa penumpang langsung dijemput oleh keluarga mereka, yang lain telah menitipkan motor dan langsung pulang, sementara penumpang lain yang bernasib sama sepertiku langsung mencari tempat duduk kosong untuk melanjutkan tidur.

Kau, bocah berpakaian sedikit lusuh dan wajah pucat yang kutaksir berusia sekitar 10 atau 11 tahunan, sedang duduk mematung sendirian pada sebuah bangku panjang di pojokan terminal. Dekat sebuah warung yang sudah tutup. Entah apa yang mendorongku untuk duduk di sebelahmu. Mungkin saat itu, kau terlihat seperti satu-satunya bentuk kehidupan di tengah terminal yang tengah terlelap. Nanti, baru kusadari bahwa anggapanku ternyata salah besar.

Continue reading Saat Terbaik Untuk Mati

Kantong Air Mata

Ilustrasi Kantong Air Mata (picture credit: Silananda)
Ilustrasi Kantong Air Mata (picture credit: Silananda)

“Real tears are not those that fall from the eye and cover the face,
but those that fall from the heart and cover the soul.”
(anonymous)

Aku hanya ingin melihat ayahku menangis. Sekali saja. Boleh menangis bangga, menangis sedih, menangis haru, menangis karena kegelian. Apapun asal aku bisa melihat titik-titik bening air mata ayah merembes keluar.

Sejak kecil, tak pernah sekalipun kulihat ayah menangis. Tak pernah di hadapanku, dan yakinku, tak mungkin pernah di belakangku. Karena ayah bukan laki-laki pengecut yang bersembunyi, menyendiri di balik punggungnya dan mulai mewek seperti wanita.

Padahal ayah juga bukan lelaki yang takut dibilang cengeng. Pepatah yang mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh menangis ditentang keras olehnya. Baginya lelaki bebas menangis seperti perempuan juga bebas mengadu jotos.

Continue reading Kantong Air Mata

NYALA(NG)

pict credit: therasaule.deviantart.com
pict credit: therasaule.deviantart.com

“Sudah waktunya…”

Bisikan itu lewat begitu saja. Halus, menembus kulit dan tulang. Tak hanya sampai di gendang telinga, tapi juga merasuk di jiwanya. Alis gadis itu berkerut. Matanya yang semula terpejam dengan tenang berkedut-kedut. Konsentrasinya terganggu.

Sudah waktunya? Sekarang?

Continue reading NYALA(NG)