Saat Terbaik Untuk Mati

“Kau tahu kapan saat terbaik untuk mati?”

Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut pucatmu ketika kita bertemu di sebuah terminal. Terus terang saja aku kaget mendengarnya dan sedikit ngeri. Entahlah, barangkali bukan hanya karena pertanyaan tak wajar itu, tetapi juga karena senyum dingin yang menghiasi wajahmu ketika menanyakannya padaku.

Ya, aku ingat sekali. Saat itu dini hari ketika aku baru turun dari bus jurusan Surabaya dan harus menunggu hingga pukul lima atau enam pagi untuk naik bus ke Malang. Terminal terlihat lengang tentu saja. Beberapa penumpang langsung dijemput oleh keluarga mereka, yang lain telah menitipkan motor dan langsung pulang, sementara penumpang lain yang bernasib sama sepertiku langsung mencari tempat duduk kosong untuk melanjutkan tidur.

Kau, bocah berpakaian sedikit lusuh dan wajah pucat yang kutaksir berusia sekitar 10 atau 11 tahunan, sedang duduk mematung sendirian pada sebuah bangku panjang di pojokan terminal. Dekat sebuah warung yang sudah tutup. Entah apa yang mendorongku untuk duduk di sebelahmu. Mungkin saat itu, kau terlihat seperti satu-satunya bentuk kehidupan di tengah terminal yang tengah terlelap. Nanti, baru kusadari bahwa anggapanku ternyata salah besar.

Continue reading Saat Terbaik Untuk Mati