Saat Terbaik Untuk Mati

“Kau tahu kapan saat terbaik untuk mati?”

Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut pucatmu ketika kita bertemu di sebuah terminal. Terus terang saja aku kaget mendengarnya dan sedikit ngeri. Entahlah, barangkali bukan hanya karena pertanyaan tak wajar itu, tetapi juga karena senyum dingin yang menghiasi wajahmu ketika menanyakannya padaku.

Ya, aku ingat sekali. Saat itu dini hari ketika aku baru turun dari bus jurusan Surabaya dan harus menunggu hingga pukul lima atau enam pagi untuk naik bus ke Malang. Terminal terlihat lengang tentu saja. Beberapa penumpang langsung dijemput oleh keluarga mereka, yang lain telah menitipkan motor dan langsung pulang, sementara penumpang lain yang bernasib sama sepertiku langsung mencari tempat duduk kosong untuk melanjutkan tidur.

Kau, bocah berpakaian sedikit lusuh dan wajah pucat yang kutaksir berusia sekitar 10 atau 11 tahunan, sedang duduk mematung sendirian pada sebuah bangku panjang di pojokan terminal. Dekat sebuah warung yang sudah tutup. Entah apa yang mendorongku untuk duduk di sebelahmu. Mungkin saat itu, kau terlihat seperti satu-satunya bentuk kehidupan di tengah terminal yang tengah terlelap. Nanti, baru kusadari bahwa anggapanku ternyata salah besar.

Continue reading Saat Terbaik Untuk Mati

Cerita (dan Kumpulan Foto) buat Para Kekasih

Camera 360

Judul: Cerita Buat Para Kekasih
Penulis: Agus Noor
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Editor: Mirna Yulistiani
Foto & Layout isi: Adimodel
Desainer cover: Suprianto
ISBN: 978 – 602 – 03 – 0898 – 2

Saya ketemu buku ini di Toga Mas Yogyakarta. Cover dengan komposisi tulisan dan gambar yang tak biasa. Judulnya pun tak kalah menggoda: Cerita Buat Para Kekasih. Lalu nama penulisnya: Agus Noor. Rasanya tak salah jika saya langsung menyabet buku ini ke tas belanjaan. Setelahnya, saat ada kesempatan, saya langsung membuka buku ini dan membaca. Saya tak bisa bilang ‘puas’, tapi juga tak bisa lantas bilang ‘sangat kecewa’.

Continue reading Cerita (dan Kumpulan Foto) buat Para Kekasih

Gandrung

Java girl dancing (pict credit: artgallery.yale.edu)
Java girl dancing (pict credit: artgallery.yale.edu)

Giman termangu di atas dipan depan teras rumahnya. Satu tangannya menyangga dagu, sementara tangan yang lain menyangga tubuhnya yang setengah doyong ke samping. Entah sudah berapa lama dia tetap dalam posisi aneh begitu. Tak dihiraukannya juga urat-uratnya yang melengkung-lengkung kesakitan karena ditekuk tak sewajarnya.

Bulan yang bulat sempurna.

Hanya itu yang sedari tadi dipandanginya dengan khusyu’. Di mata Giman, bulan sudah menjelma sebagai panggung di angkasa. Di dalamnya ada seorang gadis. Tubuhnya yang indah berlenggok-lenggok. Tangannya yang jenjang melayang di udara. Kulitnya yang halus dibalut kemben dan jarit yang mempesona. Selendang merah hati terpilin sempurna di antara jari-jarinya yang kuning pucat.

“Ah… jika dia bukan bidadari, lalu apa?” hati Giman bergumam.

Continue reading Gandrung