Hari yang Sulit Disebut

Sepagian ini perempuan itu berpikir keras. Mencari kata yang tepat untuk diucapkan pada kekasihnya hari ini. Tapi tak ketemu juga. Dia ingin mengucapkan “Happy Anniversary”, tapi mereka berdua tahu hari ini bukan benar-benar hari jadi keduanya.

Melewatkan hari ini tanpa mengatakan apa-apa jelas bukan pilihan. Bagaimana pun hari ini adalah hari yang istimewa dan dia harus menulis atau mengucapkan sesuatu. Tapi apa yang harus ditulis?

Dia mencoba mengingat-ingat. Ini bukan hari pertama mereka bersepakat akan bersama. Bukan hari pertama mereka saling mengenal. Dan yang pasti, ini juga bukan hari pertama mereka jatuh cinta. Jatuh cinta? Perempuan itu bahkan tak tahu pasti kapan mereka pertama kali saling jatuh cinta.

Hari semacam ini bukanlah hari yang dengan mudah ditandai dengan sebutan. Apalagi sebutan singkat. Yang dia tahu, ini adalah tanggal yang sama ketika keduanya saling menatap dan menyadari bahwa mereka bukan orang asing. Ketika rindu yang memuncak dan entah berasal dari mana seolah membangunkan ingatan jiwanya.

Ini adalah hari ketika sebuah kisah dimulai. Sekali lagi. Setelah entah sudah ke berapa kalinya sejak pertama kali mereka jatuh cinta… ribuan tahun yang lalu, dalam rupa yang berbeda-beda.

– S –

NB : Menurutmu sebaiknya hari ini ditandai sebagai apa, Num?

Player Two

ps32

Satu, dua, tiga, empat. Wih, banyak amat! Aku menghitung ulang. Satu, dua, tiga, empat. Benar ada empat. Aku menggaruk-garuk kepala, leher, dan pipi yang tak gatal. Iseng saja, kutata satu persatu kertas berbungkus plastik itu di atas meja ruang makan.

Pandanganku beralih ke seorang pria yang asyik bermain game di ruang tengah. Ya, ruang tengah dan ruang makan di rumah memang tak dipisahkan tembok secara utuh. Tembok yang menjadi pembatas hanya setinggi tempurung kaki. Jadi aku bisa melihat pria itu, Bibin – kekasihku, berselonjor kaki sambil bermain game Call of Duty di PS3-nya.

“Bin, ada empat…” kataku, yang dijawab dengan ‘hmmm’ tak peduli olehnya. “Bin!”

“Apanya yang ada empat?” tanyanya.

“Undangannya. Ini ada dari Tara, Dani temen kuliah kamu, Mbak Ratih dari bagian keuangan, sama Rebecca.”

“Waduuuh, kok bisa barengan gitu orang-orang nikahnya,” timpal Bibin cuek dengan mata masih terpancang di televisi.

Continue reading Player Two