January in Comedy

January

“Jika hidup ini panggung sandiwara, maka punyaku pastilah bergenre komedi.” Begitu katamu ketika kira bertemu pertama kali di stasiun kereta. Ya, pertama dan satu-satunya. Januari, begitu kau memperkenalkan namamu. Pemuda berwajah simpatik yang kupastikan umurnya tak jauh berbeda denganku.

“Oh ya? Memangnya seperti apa cerita hidupmu?” tanyaku. Agak mengherankan sebenarnya, perempuan yang tak suka basa-basi sepertiku mau menanggapi perkataanmu. Ditambah lagi dalam kereta ekonomi yang bergeruduk-geruduk, yang membuatku kadang ingin tidur saja sampai tempat tujuan. Tapi entahlah… mungkin memang sudah takdirku. Menjadi satu-satunya penonton dalam panggung kehidupanmu. Jadi, ditandai dengan bunyi bising kereta yang hendak berangkat, ceritamu pun dimulai.

“Jika biasanya bayi datang dengan tangisan dan disambut dengan tawa, maka aku berbeda. Aku lahir dengan sebuah senyuman di bibirku. Senyuman yang ditangisi oleh keluargaku. Oleh ibuku terutama.” Begitu kau mengawali ceritamu.

Segala upaya dilakukan agar kau tak lagi menampakkan senyum itu. Kubilang upayanya lumayan berhasil, karena senyum itu hanya menyisakan garis tipis yang berwarna lebih muda dari warna kulit wajahmu. Kau meraba garis tipis itu untuk menunjukkannya padaku. Garis tipis menonjol yang melintang dari bibir bagian tengah sampai ke samping hidungmu.

“Berarti setelah bibirmu dioperasi, semua masalah selesai?” tanyaku waktu itu. Aku memang tipe orang yang tak bertele-tele. Bagiku bicara memerlukan energi, jadi aku benar-benar memilih apa yang akan kukatakan. Mungkin bagi beberapa orang aku terlihat atau terdengar dingin seringkali, tapi aku tidak peduli. Seperti kata-kata yang meluncur dingin barusan, yang seolah menafikan semua aspek perasaan yang kau rasakan. Aku tidak minta maaf untuk itu.

“Awalnya kupikir begitu…” jawabmu. Setelah itu pandanganmu beralih ke pemandangan di luar jendela. Aneh, tapi wajahmu itu sepertinya mudah sekali menggambarkan emosi. Seperti saat itu, ketika pandanganmu menerawang. Aku bisa merasakan ada kesedihan, dan penyesalan yang dalam.

“Apa pekerjaanmu?” tanyaku tiba-tiba. Aku tak tahu kenapa, tapi tiba-tiba aku ingin tahu tentang apa yang biasanya kau lakukan di kehidupanmu sehari-hari.

Kau melihatku dengan pandangan aneh. Seolah-olah aku bisa membaca pikiranmu. Atau seolah-olah bisa menebak jalur logikamu. Dengan suara tertahan, jawabanmu menjawab keherananku: “Aku seorang mime.”

***

Setelah itu kau menceritakan perjalanan hidupmu sebagai mime dari awal hingga sekarang. Kau bilang kau sama sekali tak menyukai pekerjaanmu. Katamu, −masih dengan mata menerawang− sejak kecil kau ingin sekali menjadi tentara. Kau langsung jatuh cinta dengan profesi itu ketika melihat orang-orang gagah berseragam hijau loreng lewat di depan rumahmu.

“Tapi tak ada tentara yang berbibir sumbing dan berwajah feminin sepertimu!” begitu katamu menirukan ibumu. Harus kukatakan bahwa kau sangat pandai menirukan ekspresi dan –hampir saja− suaranya.

Dan memang harus kuakui bahwa jika perekrutan tentara hanya berdasarkan penampilan fisik, maka kau hanya akan jadi bahan olok-olokan di sana. Aku tidak menyinggung tentang bibir sumbingmu, tapi tentang wajahmu yang –seperti kata ibumu− feminin. Atau lebih jelas lagi kukatakan bahwa untuk ukuran seorang laki-laki, kau terlalu cantik.

Aku bisa mengerti kenapa kau bilang masalah belum selesai walaupun senyuman yang diukir Tuhan di wajahmu itu sudah dioperasi. Karena operasi itu malah membuat wajahmu terlihat tanpa cela. Wajahmu yang memang feminin semakin terlihat feminin.

Coba saja perhatikan kalau kau melihat dirimu sendiri di kaca kereta ini. Kau punya sepasang mata besar dengan bulu mata yang panjang-panjang. Juga sebuah bibir yang penuh dan sedikit merah. Kulit wajahmu bersih dan terlihat lembut, seperti kulit wajah wanita yang terawat. Juga bentuk rahangmu yang membulat dengan halus. Sama sekali bukan rahang seorang tentara. Kalau saja aku ini perempuan pesolek yang sangat peduli penampilan, aku mungkin saja terintimidasi dengan kelebihan-kelebihan yang kau punya di wajahmu.

Saat itulah, kurasa Tuhan tak semena-mena memberikan bibir sumbing itu padamu. Karena selain sekarang bibir itu juga sudah diperbaiki, dan hasilnya lumayan bagus, kau juga memiliki banyak kelebihan di wajahmu. Semua hal yang kau miliki di wajahmu itu memang sebuah modal yang kuat jika kau ingin menekuni bidang pantomime. Sebuah wajah yang kaya ekspresi. Coba lihat! Matamu saja sudah bisa membahasakan apa yang ada di pikiranmu ketika aku berkata:

“Tapi menurutku kau memang cocok jadi mime.”

“Kau sama saja dengan yang lain. Sudah banyak yang mengatakan itu padaku.” Begitu kira-kira jawaban yang kudapatkan dari matamu.

Memangnya aku berdosa jika aku mengatakan kebenaran? Aku hanya mengatakan apa yang kulihat darimu. Sudah kubilang kan kalau aku ini agak tidak sensitif dengan perasaan orang. Mungkin kau juga harus mulai belajar menjadi tidak terlalu sensitif dengan perasaanmu sendiri.

“Yah, baiklah…” aku akhirnya mengalah, melihat tatapanmu yang lama-lama membuatku gerah. “Lalu, apa kau pernah mencoba mendaftar menjadi tentara?” tanyaku mengalihkan topik.

Kau menggeleng. Lagi-lagi, sebuah penyesalan muncul di matamu.

“Nah, kau merengek banyak tentang tidak menyukai profesimu sebagai mime sementara kau sendiri tak pernah berusaha mengejar cita-citamu.” Kataku. Sedikit menyalahkanmu karena sudah memojokkanku dengan tatapan penyesalan itu.

Kau hanya diam. Kembali mengalihkan pandanganmu dariku. Aku sedikit memahami saat itu. Kau melakukannya ketika kau tak ingin aku membaca jawaban dari wajahmu. Kau melakukannya supaya aku tak bisa melihat matamu. Karena sebenarnya banyak yang ingin kau katakan. Oh ya, Januari… aku yakin kau punya seribu alasan untuk menjawab dengan telak pertanyaanku barusan, tapi kau tak mau.

“Jadi… kenapa?” tanyaku berusaha melunakkan nada suaraku. Aku tak ingin menebak-nebak lagi. Aku ingin kau sendiri yang mengatakannya. Dari bibirmu sendiri.

Kau menghela nafas panjang, dan membuatku menunggu agak lama. Tiba-tiba saja kusadari, aku menjadi orang yang terikat dengan pembicaraan ini. Padahal awalnya kupikir kau lah orang yang sedang bosan dan membutuhkan teman bicara. Sekarang kudapati diriku sendiri yang tak sabar ingin mendengarmu bicara.

“Kau… sendiri…” kau memulai dengan terbata-bata. Aku menajamkan telinga. “Buku apa yang ada di tanganmu itu?” tak disangka-sangka kau mengubah topik pembicaraan.

Aku, terkaget -dan sedikit frustasi karena tak segera mendapat jawaban- melihat sekilas pada buku yang kubawa. Sebuah kumpulan cerpen lama yang kupinjam dari perpustakaan. Karya Rabindranath Tagore yang berjudul “Batu-Batu Lapar”. Akhirnya aku menjawab dengan cepat: “Kumpulan cerpen, dari pengarang favoritku.”

“Kau seorang penulis?” kau bertanya lagi dengan keingin tahuan yang tak dibuat-buat.

Aku bingung menjawabnya. Aku memang menulis beberapa cerita pendek yang kukirimkan ke media-media, tapi aku juga bekerja tetap sebagai seorang dosen matematika. Jadi aku agak mengambang ketika menjawab: “Ya… dan tidak… bisa juga disebut penulis, tapi bukan pekerjaan utamaku. Aku juga seorang dosen.”

Ada tanda tanya besar di matamu. Tapi kemudian ada sedikit pancaran lucu di sana. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang, jadi aku bertanya: “Ada apa? Ada yang aneh dengan pekerjaanku?”

“Senang sekali bisa melakukan dua pekerjaan yang kau minati secara bersamaan. Kalau saja mime dan tentara bisa kulakukan bersamaan.” Jawabmu.

“Tapi kalau kau tak suka jadi mime, kenapa melakukannya?” kejarku.

“Kau tahu… yah… misalkan saja dirimu sendiri. Kau senang menulis sebuah cerita, tapi semua orang mengatakan tulisanmu jelek. Kau tak suka olahraga, tapi semua orang percaya kau bisa jadi atlit lari yang hebat. Dan kenyataannya, kau sering memenangkan kejuaraan lari di olimpiade. Apa yang akan kau lakukan?”

Analogi yang pintar. Tapi sulit kujawab. Aku tahu, analogi itu mengarahkanku untuk menjawab bahwa aku harus menjadi pelari saja daripada menulis. Jadi, ingin saja aku mengikuti pola permainanmu.

“Aku harus menjadi pelari?” jawabku tak yakin.

“Kenapa?” kau malah bertanya balik.

“Karena itu hal terbaik yang bisa kulakukan? Karena dengan begitu aku bisa berharga bagi orang lain.” Aku terkesiap dengan jawabanku sendiri yang kukatakan dengan cepat. “Karena dengan begitu, kau… bisa berguna bagi orang lain?”

Kau tersenyum mendengar pertanyaanku yang seperti baru tersadar setelah ribuan tahun tertidur. Perlahan kau menambahkan: “Dengan begitu juga, aku bisa membuat orang lain bahagia. Seperti sedang memenuhi takdir yang dititipkan padaku.”

Jika ada yang disebut haru, maka itu adalah perasaan yang kurasakan ketika kau mengatakannya. Aku tahu alasannya. Dengan menjadi mime kau menyenangkan orang lain, sementara menjadi tentara hanya akan menyenangkan dirimu saja. Dan kepentingan mayoritas adalah yang akhirnya kau pilih. Takdir, kemampuan untuk menghibur orang lain yang dititipkan Tuhan padamu. Kau juga tak ingin mengkhianati-Nya.

“Kau tahu… aku kagum padamu, yang bisa berpikir begitu dalam bahkan melewati keinginanmu sendiri, dan lebih memilih untuk menyenangkan orang lain.” Aku bersungguh-sungguh mengatakan itu padamu. “Tapi tak selamanya hidup itu tentang mereka. Ketika hidupmu sudah akan berakhir, mungkin kau baru berpikir dan mempertanyakan, apa yang sudah kau lakukan untuk dirimu sendiri. Bukan berarti aku menyuruhmu egois, tapi menurutku semuanya harus seimbang. Menjadi matahari. Bukan lilin yang menerangi, tapi perlahan-lahan membunuh dirinya sendiri.” Tanpa kusadari aku sudah berpanjang lebar menceramahimu. Sementara kau melihatku dengan takjub.

Ketika aku menutup mulutku kau seperti terkena sihir. Mukamu tiba-tiba saja menjadi sedikit cerah. Kau seperti sudah menemukan sesuatu untuk dilakukan. Walaupun tak mengerti dengan apa yang kau pikirkan, tapi aku berharap ide yang sedang kau pikirkan itu sesuatu yang baik.

Setelah mengangguk-angguk agak lama, kau mengatakan ingin meminjam bukuku. Dengan senang hati segera kusodorkan buku itu padamu. Dan karena perjalanan kita masih panjang, maka aku memutuskan untuk tidur sebentar.

Kau baru membangunkanku ketika kereta berhenti dan mengatakan selamat tinggal, juga terima kasih. Kau mengembalikan bukuku sambil berkata bahwa kau berharap kita bisa berjumpa lagi. Ada sedikit keraguan ketika aku mendengar kata-katamu itu, jadi aku menjawab: “Yah, semoga…” dengan nada tidak yakin.

Senyummu makin lebar mendengar jawabanku. Lalu dengan bercanda kau menambahkan: “Kalau tak bisa di kehidupan ini, semoga bisa di kehidupan mendatang.” Dan kau tahu? Serius… aku merinding mendengarnya.

Setelah itu aku melihatmu beranjak dari tempat dudukmu dan segera pergi membawa koper besarmu. Jadi aku pun pergi, bersama buku dalam genggamanku. Buku yang tanpa kuketahui telah bertambah isinya. Selembar kertas yang dilaminating. Sebuah tiket untuk melihat kelanjutan pentas hidupmu.

***

Beberapa minggu kemudian, aku baru menyadari bahwa kau telah menyiapkan sebuah kejutan untukku. Entah sengaja atau tidak. Ketika aku mengembalikan buku pinjamanku, yang sejak turun dari kereta tak pernah kubuka lagi, dan seorang petugas perpustakaan memanggilku.

“KTP Anda ketinggalan,” begitu katanya.

Aku cuma bisa terheran-heran. Bagaimana bisa kartu pengenal yang kugunakan untuk menyewa loker di perpustakaan itu tadi pagi, ketinggalan di buku yang kupinjam? Hanya ada satu penjelasan, bahwa kartu pengenal itu bukan punyaku. Nama yang tertera di sana jelas: J-A-N-U-A-R-I. Itu milikmu.

Jadi, apa yang harus kulakukan dengan tanda pengenalmu. Tentu saja mengembalikannya. Beruntung bagiku, dan kukira bagimu juga, bahwa kita tinggal di kota yang sama. Sehingga aku bisa dengan mudah mencari alamatmu dan mengembalikannya.

Tapi sesampainya di rumahmu, aku tak menemukan siapapun yang wajahnya mirip denganmu. Kecuali seorang perempuan berusia setengah baya yang menyambutku dan menanyakan kenapa aku ingin bertemu denganmu. Ingin sekali kujawab dengan iseng: “Karena kami sudah berjanji untuk bertemu lagi.” Tapi kubatalkan. Aku menjawab dengan sopan: “Untuk mengembalikan kartu pengenal Januari.”

Wajah perempuan itu menjadi sedih. Aku tak mengerti kenapa responnya seperti itu, dan terus terang aku merasakan firasat yang buruk tentangmu. Hingga akhirnya firasat dan keherananku itu terjawab ketika bibir perempuan itu mengatakan dengan jelas: “Kemarin, Januari mati.”

Aku tak bisa tidak merasa terpukul. Ini konyol, aku tahu… karena kita hanya bertemu sekali di kereta. Dan kalau dipikir-pikir kita tak bicara terlalu banyak. Tapi entah kenapa, kabar kematianmu juga membuatku merasakan sakit di dalam dada.

Perempuan itu mengantarkanku ke makammu, yang ternyata tak jauh dari rumahmu. Di sana dia menceritakan padaku tentangmu. Sebenarnya hampir semuanya sudah aku ketahui. Tentang cita-citamu menjadi tentara, tentang bagaimana kau bisa menjadi seorang mime. Hanya satu cerita yang telah kulewatkan. Cerita kematianmu.

Kemarin adalah hari ulang tahunmu. Dan kau mengadakan sebuah pesta untuk merayakannya. Tak biasa bagi seorang Januari, tapi semua orang menyambutnya dengan gembira. Perempuan itu bilang bahwa mereka semua menunggu atraksi badutmu yang selalu lucu dan menggemaskan. Ada kegetiran dalam diriku ketika mendengar perempuan itu mengatakannya.

Saat pertunjukanmu itulah tragedi sebenarnya dimulai. Kau menyewa teras di sebuah hotel, lengkap dengan kolam renang untuk merayakan ulang tahunmu. Mereka bilang, itu perta kolam renang, water party. Pertunjukanmu dimulai ketika kau muncul dengan menaiki kano kecil, hingga ke tengah-tengah kolam renang. Lalu, dengan gaya lucu kau melubangi kano itu. Satu-satu. Kau membuat muka kaget dan panik setiap kali melihat air mancur ke dalam. Semua orang tertawa terbahak-bahak.

Kemudian kano yang kau naiki mulai terendam air, dan kau menampakkan muka yang sangat panik. Mereka semua semakin terpingkal-pingkal. Hingga akhirnya kano itu terendam penuh. Kau membungkuk hormat pada semua penontonmu dengan tawa yang lebar. Sebuah penghormatan terakhir. Mereka semua tertawa dan bertepuk tangan. Kau melambai-lambaikan tangan, dan terus begitu hingga air menelan seluruh tubuhmu. Semua orang terus bersorak dan menunggumu muncul ke permukaan. Sebagian dari mereka berteriak “Fantastis!”, “Hebat!”, “Spektakuler!”.

Tapi kau tak juga muncul. Sudah hampir lima menit.

Tepuk tangan mereka mereda. Tapi kau tak juga muncul. Sepuluh menit.

Tawa mereka berubah menjadi seulas senyum. Tubuhmu masih belum muncul. Tujuh belas menit.

Lalu senyum mereka serentak raib. Kau tak pernah muncul lagi ke permukaan. Ada yang tak mereka ketahui tentangmu: kau tidak bisa berenang.

Lelucon pun berakhir. Begitu juga hidupmu.

***

Perempuan itu menyudahi ceritanya sambil terisak.

Aku sedikit tertampar karena dalam hatiku aku tahu, pertunjukan terakhir itu adalah apa yang kusebut seimbang. Kau memenuhi permintaan mereka akan tawa, dan dengannya juga kau memenuhi keinginan dirimu sendiri untuk terbebas. Kalau kau masih ada di depanku, dan bukan nisan jelekmu ini, mungkin kau sudah kutampar berkali-kali karena ketololanmu menafsirkan apa yang kukatakan.

Hey, Januari… apa yang kau harapkan dariku sekarang? Bertepuk tangan di depan makammu karena pertunjukanmu yang begitu hebat? Apa kau pikir semua ini lucu? Asal kau tahu saja… sejak pertama kali kita berbicara, hingga sekarang… aku tidak tertawa sedikit pun. Tak pernah.

***

#for January, from March 2012

7 thoughts on “January in Comedy

Leave a comment